Selasa, 15 Mei 2012

Konsumen Kelas Atas
HEADLINE NEWS  - Yudy Widodo sedang rapat hari Senin sore lalu ketika telepon selulernya berdering. Seorang usahawan tidak dikenal menelepon dari Sidoarjo, Jawa Timur, meminta penjelasan soal mobil Porsche. Yudy memberi penjelasan, tetapi agaknya usahawan itu masih ingin jawaban lebih dalam.
Naluri bisnis Yudy bangkit. Ia terbang ke Surabaya. Pukul 08.00 pagi sudah berada di depan toko pengusaha itu di Sidoarjo. Usahawan itu agak kaget saat menerima Yudy. Tampil rapi, membawa seperangkat komputer, serta bahan-bahan yang dibutuhkan, Yudy menjelaskan mobil Porsche.
Yudy adalah Vice President PT EurokarsArtha Utama. Yudy pun membuka komputernya dan menjelaskan hal ihwal Porsche dari A sampai Z secara ringkas dan padat. Usahawan itu menanyakan soal pintu mobil, Yudy menjelaskan dengan tuntas, lengkap dengan semua speknya.
Pertanyaan tentang atap mobil yang bisa dibuka, atau ban yang aman, semuanya dijelaskan dengan rinci beserta semua gambarnya. Yudy bahkan menjelaskan kalau pintu seperti ini akan menjadi seperti apa. Lalu, saat semua pertanyaan tuntas dibahas, muncul gambar mobil yang diinginkan pengusaha tersebut.
Sesaat kemudian, pesanan mobil Porsche dilakukan. Nilainya setara Rp 3,5 miliar rupiah. Usahawan itu memberi uang muka 50.000 dollar AS. Padahal, penyerahan mobil baru bisa diserahkan paling cepat lima bulan kemudian.
Ini hanya sebuah contoh dari bagaimana Yudy dan timnya menjual mobil-mobil yang harganya ”serba wah” itu.
Dengan gayanya, Yudy dan timnya bisa menjual Porsche sebanyak 140 unit per tahun (2010). Tahun berikutnya, Yudy dan timnya bisa menjual 240 unit dengan rentang harga jual Rp 1,5 miliar sampai Rp 4,5 miliar.
Selain mobil Porsche, perusahaan tempat Yudy bekerja juga menjual mobil mewah Rolls Royce, yang dilepas dengan rentang harga Rp 7 miliar sampai Rp 12,5 miliar. Ternyata, pasar mobil itu di Pulau Jawa cukup besar. Setahun, mereka menjual 40 mobil mewah itu.
Yudy menyebutkan, para pembeli mobil-mobil keren itu ada dari orang yang tidak terduga. Para pembelinya adalah usahawan yang terkesan bersahaja, tetapi sangat likuid sebagai usahawan. ”Mereka mampu membeli dengan dingin,” ujar Yudy di Yogyakarta, pekan lalu.
Mereka adalah pemilik pabrik cat, para eksportir kopi, teh, batubara, minyak mentah, dan pabrik rokok. Ada pula sejumlah advokat terkenal.
Hal yang menarik, Yudy mengatakan, data soal orang-orang kaya Indonesia dimiliki pelbagai kalangan di luar negeri. Diketahui para pemilik pabrik mobil, investor kelas atas, dan lembaga-lembaga riset bisnis.
Dari riset kecil ataupun fakta yang ia temukan di lapangan, Yudy membuat pengelompokan orang-orang berduit di Indonesia. Pertama, yang mampu membeli rumah sederhana dan mobil sekelas Avanza, Xenia, March, atau Grand Avega.
Kedua, yang mampu membeli rumah agak baik, harga di atas Rp 400 juta, dan membeli mobil mulai dari Kijang kelas paling tinggi sampai pada Toyota Altis, Hyundai Tucson, dan Honda CRV. Ketiga, yang sudah mampu membeli rumah di atas Rp 2 miliar, dan atau membeli mobil sejenis Honda Accord, Toyota Camry, atau Hyundai Sonata.
Keempat, ada yang mampu membeli mobil di atas Rp 800 juta sampai Rp 1,3 miliar. Kelima, yang mampu membeli rumah dengan harga di atas Rp 3 miliar dan mobil di atas Rp 1,5 miliar, misalnya Porsche dan sebagainya.
Seorang industriawan yang punya beberapa gerai di mal elite Jakarta menyebutkan, banyak orang Jakarta yang kalap kalau berbelanja. Mereka belanja di atas Rp 1 miliar per bulan.
Fakta lapangan ini diungkap untuk memaparkan langgam orang kaya berbelanja dan memberi data kepada para usahawan bahwa lebih dari 30 persen warga Indonesia mampu berbelanja mobil-mobil berkelas. Selain itu, terdapat lebih dari dua juta orang yang mampu membeli barang-barang mewah dengan harga di atas Rp 2 miliar. Tentu ini bukan angka persis, melainkan rekaan.
Pemaparan beberapa fakta ini kiranya bermanfaat bagi para usahawan untuk mengetahui sasaran, membuat target produk, dengan pasar orang-orang yang kuat secara ekonomi. Pasar tersebut masih sangat terbuka lebar.

Senin, 07 Mei 2012

Bisnis dan Kreativitas
 
HEADLINE NEWS - Obral produk sepatu dan sandal Crocs pernah membuat fenomena. Produk dengan rupa-rupa model ini sukses menggelar obral (sale) beberapa waktu lalu. Obral yang dilakukan sebetulnya tidak banyak berbeda dengan sebelumnya. Akan tetapi, karena varian yang ditawarkan menarik, pembeli tetap penuh sesak. Mereka rela antre beberapa kilometer di mal untuk mendapatkan Crocs.

Selain Crocs, ada beberapa merek yang melakukan obral. Misalnya Gucci, Burberry, Zara, dan Ermenegildo Zegna. Semua meraih kesuksesan. Ada banyak faktor penyebab kesuksesan ini, di antaranya cara mengemas obral, potongan harga yang ditawarkan, serta lokasi dan pelayanan pengunjung di lapangan.

Banyak juga perusahaan yang menggelar obral, tetapi sama sekali tidak sukses. Penyebabnya, komoditas yang ditawarkan tidak menggetarkan minat membeli, lokasi tidak representatif, dan penyelenggara obral tidak mampu mengaduk emosi publik. Jadilah obral itu sepi pengunjung.

Menghadapi persaingan usaha yang amat keras seperti tampak saat ini, semua pengendali perusahaan harus mampu menghadapi semua kondisi lapangan. Jangan latah sebab kreativitas perusahaan sangat dibutuhkan untuk menghadapi persaingan usaha yang acap kejam.

Tidak ada ruang untuk pebisnis yang tidak kreatif. Artinya, kalau sudah ada perusahaan yang mendekati pasar dengan melakukan langgam obral, perusahaan lain hendaknya mencari langgam lain agar publik tetap memberi apresiasi tinggi kepada perusahaan tersebut.

Beberapa tahun terakhir, sejumlah perusahaan kreatif dan inovatif sukses naik ke puncak bisnis dengan formula yang mengesankan. Beberapa perusahaan properti sukses menjalankan bisnis dengan genre baru. Perusahaan-perusahaan itu membagikan kupon agar tidak saling sikut dan mendapat hak beli berdasarkan urutan. Untuk mendapat nomor pun mesti menyetor tanda jadi sekian juta rupiah.

Banyak pertanyaan mengemuka berkaitan dengan antre nomor beli properti ini. Namun, seperti diutarakan Direktur Eksekutif Summarecon Serpong S Benjamin, sistem kupon dipakai karena jumlah peminat jauh lebih besar daripada unit rumah atau apartemen. Ini sebuah kemajuan hebat sebab sekian tahun lalu, ketika masih krisis, rumah bukan pilihan utama. Rumah bahkan menjadi hadiah untuk pembelian aneka barang luks, seperti mobil. Kini, rumah kembali menjadi kejaran penduduk.

Benjamin tidak sependapat dengan pandangan bahwa penjualan rumah dengan urutan kupon sebagai taktik dagang. Kupon diadakan agar tidak terjadi rebutan rumah sesama pembeli. ”Tren penjualan memang sedang naik, Kami pernah menjual rumah 400 unit, yang antre 2.500 pembeli. Penjualan selesai dalam empat jam.” ujarnya.

Kesuksesan yang diraih sejumlah pengembang di Serpong tentu bukan usaha sehari. Mereka membangun reputasi, servis, dan nilai dengan sabar selama puluhan tahun. Hasil yang diraih sekarang salah satu puncak dari usaha panjang dan kerap melelahkan pada masa-masa lalu.

Kerap kali para pebisnis terjebak dalam keinginan meraih hasil instan. Tidak lagi melihat proses. Sejumlah produk dunia, katakanlah seperti Coca Cola, Apple, Mercy, Toyota, dan Samsung, meraih kesuksesan setelah menjalani proses bertahun-tahun. Bukan hanya dalam semalam.

Sabtu, 05 Mei 2012

Pekerja Belum Cukup Sejahtera
Ilustrasi ; Buruh pemecah batu
HEADLINE NEWS - Bekerja dengan menerima upah atau gaji, baik di kalangan swasta maupun pemerintahan, belum menjamin kesejahteraan. Tidak sedikit pekerja, karyawan, ataupun pegawai negeri sipil yang mempertimbangkan untuk berwirausaha. Mencari penghasilan yang lebih baik.

Tingginya minat berwiraswasta terungkap dari hasil survei Litbang  pada 25-27 Maret lalu. Sebagian besar (70,4 persen) responden yang saat ini bekerja sebagai pegawai negeri sipil (PNS), karyawan swasta, ataupun buruh tertarik untuk memulai usaha sendiri.

Wirausaha kian dilirik seiring semakin mengemukanya ketidakpuasan pada penetapan upah minimum. Tahun ini, rata-rata upah minimum di 33 provinsi di Indonesia hanya Rp 1,15 juta per bulan. Dengan jumlah itu, setiap anggota keluarga dari seorang pekerja dengan satu istri dan dua anak hanya akan mendapatkan rata-rata Rp 290.000 untuk hidup selama sebulan. Angka ini hanya sedikit di atas garis kemiskinan tahun 2011, yakni Rp 233.740 per orang. Kenaikan upah minimum pun terkadang tak dapat mengimbangi inflasi.

Satu dari lima responden yang saat ini berstatus sebagai pekerja mengaku tidak puas dengan penghasilan mereka. Selain itu, sekitar sepertiga dari total responden yang tersebar di 12 kota besar ini mengaku tertarik berwirausaha karena berharap penghasilan yang lebih tinggi. Adapun responden yang tidak tertarik beralih menjadi wirausaha mengaku sudah mendapatkan penghasilan dan kesejahteraan.

Para calon wiraswasta ini tertarik memulai usaha yang mudah dijalankan, berisiko rendah, tetapi menjanjikan dari sisi penghasilan. Usaha di bidang makanan menjadi pilihan 25 persen responden yang saat ini masih berstatus sebagai pekerja. Usaha di bidang fashion, terutama pakaian dan alas kaki, juga banyak diminati.

Usaha yang diminati umumnya yang memerlukan modal relatif kecil mengingat lebih dari separuh responden memilih menggunakan dana pribadi atau patungan dengan kerabat ketimbang meminjam modal usaha ke bank. Prosedur peminjaman yang memakan waktu dan keterbatasan aset yang bisa dijaminkan menyebabkan mereka menjauhi perbankan. Belum lagi jika usaha tidak berjalan mulus, dana dari perbankan akan menjadi beban karena harus dikembalikan beserta bunganya.

Selain ketidakpuasan terhadap pendapatan, keterbatasan lapangan kerja juga memperkuat berkembangnya minat wirausaha. Tidak sedikit lulusan pendidikan tinggi yang menganggur karena sulit mendapatkan pekerjaan. Menurut data Badan Pusat Statistik (Februari, 2011), ada 612.000 orang berpendidikan sarjana di antara 8,12 juta penganggur.

Jumlah penganggur berpendidikan tinggi ini belum termasuk tamatan universitas yang terpaksa harus bekerja seadanya. Tidak sesuai dengan bidang dan kompetensinya. Tak kurang dari 20 persen responden berpendidikan tinggi (sarjana dan pascasarjana) mengaku tak puas dengan pekerjaan mereka saat ini. Sebanyak 35,8 persen responden yang tertarik berwiraswasta juga dari kalangan berpendidikan tinggi.

Kian banyak lulusan universitas yang membuat usaha sendiri menjanjikan masa depan cerah bagi perekonomian. Bakal ada penciptaan lapangan kerja. Para wirausaha yang berlatar belakang pendidikan tinggi punya peluang menciptakan lebih banyak inovasi produk dan lebih kreatif mengatasi masalah pendanaan dan pemasaran. Aktor ekonomi berkualitas seperti ini tak hanya mampu menciptakan kesejahteraan, tetapi juga bisa memanfaatkan kecanggihan teknologi informasi untuk pengembangan usaha.

Rabu, 02 Mei 2012

Naikan Harga BBM Ditentang, Pengendalian Pun Sulit
PERTAMINA
HEADLINE NEWS - Pemerintah masih belum memutuskan suatu kebijakan untuk mengendalikan konsumsi bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi yang dipatok di APBN-Perubahan 2012 sebesar 40 juta kilo liter hingga kini. Pengendalian wajib dilakukan setelah kemungkinan untuk menyesuaikan harga BBM bersubsidi harus mengacu pada persyaratan yang tertera di APBN-P 2012.
Harga BBM bersubsidi bisa disesuaikan jika realisasi harga minyak mentah Indonesia (ICP) lebih dari 15 persen dari asumsi sebesar 105 dollar AS per barrel selama kurun waktu 6 bulan terakhir. Setelah itu muncullah rencana pengendalian konsumsi BBM bersubsidi. Tadinya, Pemerintah berencana melakukan itu pada 1 Mei 2012. Akhirnya mundur dan ditargetkan pertengahan Mei, pembahasan pengendalian bisa rampung.
Kebijakan pengendalian yang sudah tampak jelas adalah pengendalian konsumsi BBM bersubsidi untuk kendaraan dinas Pemerintah termasuk BUMN (Badan Usaha Milik Negara) dan BUMD (Badan Usaha Milik Daerah). Ini memang mudah dilakukan karena tentunya Pemerintah sudah punya catatan jelas mengenai jumlah kendaraan. Dan, bisa juga terlihat dari warna plat atau kode platnya.
"Kita yang pertama pasti memutuskan semua kendaraan Pemerintah, BUMN, BUMD, tidak lagi menggunakan bahan bakar bersubsidi. Dengan anggaran yang sama ia harus menggunakan pertamax. Artinya harus ada penghematan," sebut Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Hatta Rajasa, di Kantor Menko Perekonomian, Selasa (1/5/2012) sore.
Tapi, bagaimana nasib mobil pribadi? Belum jelas. Pemerintah sempat berwacana untuk membatasi konsumsi BBM bersubsidi menurut kapasitas mesin (cc). Wacana ini pun menimbulkan kontroversi baik dari Pemerintah sendiri dan pengamat.
Sempat ada wacana Pemerintah akan membatasi konsumsi BBM bersubsidi dengan menyebutkan mobil ber-plat hitam di atas 1.500 cc tidak lagi boleh mengonsumsi BBM bersubsidi. Hal ini muncul setelah melihat konversi ke bahan bakar gas tidak mungkin dilakukan dalam waktu cepat. Sempat pula beredar bahwa mekanisme untuk membedakan mobil itu dengan cara memasang stiker.
Hal tersebut ditentang oleh anggota DPR RI Komisi VII, Satya Widya Yudha. Stiker, kata dia, tidak bisa mengontrol volume konsumsi BBM bersubsidi. Mekanisme tersebut juga tidak bisa mengantisipasi terjadinya kebocoran volume BBM bersubsidi. Stiker bisa digandakan. Konsumen pun bisa dengan mudah memodifikasi tanki BBM kendaraan pribadinya. "Sistem stiker itu harus ditinggalkan. Itu akan menimbulkan konflik horizontal," tegas Satya .
Pengamat energi, Pri Agung Rakhmanto, juga berpendapat stiker mudah dipalsukan. "Stiker gampang dipalsukan," sebut Pri, Senin (23/4/2012). Lucunya, belakangan ini, Pemerintah pun menilai pengendalian dengan kapasitas mesin ini sulit dilakukan. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Jero Wacik, menyatakan pengaturan pengendalian konsumsi bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi untuk kendaraan pribadi berdasarkan kapasitas mesin (cc) sulit untuk dilakukan. Pemerintah belum bersepakat mengenai hal itu. "Yang belum yaitu urusan cc," sebut Jero, di Jakarta, Kamis (26/4/2012).
Ia mengatakan, untuk kapasitas mesin (cc) mudah dalam membuat peraturannya tapi sulit untuk diterapkannya. "Apa ada mobil yang 1.500 cc? Nggak ada. Yang ada 1.490 cc. Nanti ribut di lapangan," cetus Jero.
Masalah dari pengendalian lainnya adalah ketersediaan BBM non-subsidi, seperti Pertamax, yang menurut Himpunan Wiraswasta Nasional (Hiswana) Minyak dan Gas sering terlambat. Ketua Umum Hiswana Migas Eri Purnomo Hadi pernah menyebutkan suplai BBM nonsubsidi, seperti Pertamax, selama ini sering terlambat. "Pertamina itu sering terlambat mengirim Pertamax," ujar Eri .
Ia menyebutkan, alasan keterlambatan pengiriman adalah jumlah depo yang mempunyai Pertamax sedikit dan jarak depo yang jauh ke stasiun pengisian bahan bakar untuk umum (SPBU). Jauhnya lokasi depo dengan SPBU menyebabkan waktu pengiriman menjadi lebih lama."Tidak semua depo ada Pertamax," ucap dia.
Tapi, katanya, pihak pengusaha SPBU sendiri dari sisi infrastruktur sudah siap jika pembatasan diberlakukan, khususnya bagi mereka yang berada di wilayah Jabodetabek. Ia mengatakan, sekitar 90 persen SPBU di Jabodetabek telah mempunyai tangki dan dispenser BBM non-subsidi, seperti Pertamax.
Sementara dari sisi pengguna, harga BBM non-subsidi yang lebih dari dua kali lipat dari harga BBM bersubsidi, terasa memberatkan. Per 1 Mei, harga Pertamax, yang merupakan BBM non-subsidi termurah, dijual Rp 9.850 per liter untuk wilayah DKI Jakarta. Harga itu bisa lebih mahal di daerah lainnya di Indonesia. Sementara harga BBM bersubsidi hanya Rp 4.500 per liter.
Bagaimana baiknya?
Satya pernah mengusulkan agar Pemerintah membatasi konsumsi BBM bersubsidi per kendaraan per hari untuk mobil pribadi. Cara membatasi berdasarkan kapasitas mesin ataupun tahun kendaraan belum cukup karena bisa saja konsumen atau masyarakat memperbesar tangki mobilnya. Mekanisme terbaik menurut Satya adalah dengan kartu pengendali. Ia lebih setuju bila pengendalian konsumsi BBM bersubsidi dilakukan dengan kartu pengendali ketimbang stiker. "Ini bisa menjamin sistem pengendalian volume konsumsi BBM bersubsidi per kendaraan per hari dari mobil yang berhak," sebut Satya.
Lalu Pri Agung menuturkan, pembatasan konsumsi BBM bersubsidi dengan kapasitas mesin (cc) dan tahun kendaraan itu sudah baik. Tinggal kedua ukuran batasan tersebut diwujudkan dalam bentuk pelat mobil berwarna tertentu. Pelat ini, terang Pri, tidak mudah dipalsukan seperti halnya stiker. Untuk pelat, masyarakat yang masih boleh mengonsumsi BBM bersubsidi tinggal mengurus ke kepolisian. "Masyarakat ada inisiatif untuk mengurus itu," sambungnya.
Sembari itu, lanjut Pri Agung, pemerintah dan pihak terkaitn juga bisa memisahkan jalur pengisian BBM di stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU). Jalur dipisahkan antara BBM subsidi dan non-subsidi. "Jadi masyarakat yang tetap menggunakan BBM bersubsidi harus mendapatkan pelat nomor mobil yang dibedakan, misalnya warna biru. Kalau stiker terlalu mudah dipalsukan ketimbang pelat mobil," terang Pri.
Hari ini, (2/5/2012) pukul 14.00 WIB, Pemerintah dijadwalkan akan melakukan pembahasan kembali di Istana Negara. Nah, bagaimana keputusannya?

Senin, 30 April 2012

Broker Makin Berkilau
ILUSTRASI
MEDIA INFORMASI — Tiga wanita itu turun dari tiga mobil mewah dengan raut cerah. Mereka perlahan-lahan masuk ke sebuah hotel bintang lima di kawasan segitiga emas Jakarta, pekan lalu. Di lobi, 12 orang menghampiri dan mereka segera terlibat percakapan serius. Tiga menit kemudian, mereka terlihat bersalam-salaman dan 12 orang itu pamit.
Di coffee shop, ketiga wanita itu berembuk, saling mencocokkan data selama 10 menit. Sejurus kemudian, mereka terlibat dalam rapat membahas rencana kerja. Hanya sesekali terdengar canda segar, selebihnya berdiskusi dalam rentang waktu ketat. ”Sebagai broker properti, kami amat cermat bekerja,” tutur Sri Utami, salah seorang wanita itu. ”Kami sama-sama sibuk, maka menggunakan waktu sangat efisien.”
Sri dan dua temannya, Fajriah dan Melania, sangat menyadari bahwa sebagai broker profesional, mereka harus memiliki keunggulan-keunggulan komparatif dibandingkan dengan broker lain. Mereka memiliki basis data yang komplet, terutama di Pulau Jawa. Hendak bertanya sampai ke proyek dengan skala 5 hektar ke atas, mereka miliki. Mereka pun mengantongi data menyangkut luasan rumah, harga, dan cara praktis membeli atau menjual rumah atau apartemen. Data yang mereka tawarkan kerap dalam tiga bahasa, yakni bahasa Indonesia, Inggris, dan Mandarin. Inilah salah satu sebab mereka menjadi tempat bertanya para pengembang, eksekutif properti, dan para pencari rumah/apartemen.
Para broker seperti Sri dan kawan-kawan ini pula yang mempunyai kontribusi larisnya sebuah perumahan dan apartemen. Kalau ada apartemen atau perumahan bisa tandas dalam sehari sampai sepekan lamanya, tentu ada kontribusi para broker, sekecil apa pun itu. Bukan rahasia lagi kalau para staf pengembang memandang mereka sebagai salah satu faktor suksesnya penjualan rumah/apartemen. Para staf pengembang tersebut memang mempunyai banyak staf dan jaringan luas untuk merengkuh para pembeli. Akan tetapi, pasukan ”penjual dan pemasaran” itu tentu tidak cukup memadai untuk menjangkau semua lapisan pembeli. Para broker tetap dibutuhkan untuk menjaring pembeli.
Ray Susilo, eksekutif properti di Jakarta, mengatakan, jangan remehkan pendapatan para broker properti ini. Jika memiliki jaringan sangat luas dan berbakat memasarkan properti, seorang broker mampu meraih penghasilan bersih Rp 100 juta per bulan. Sesekali ada broker yang kariernya sedang berkilau bisa mendapat Rp 1,5 miliar per bulan dalam kurun waktu setengah tahun. Ini sebabnya, para broker yang ahli ”bertarung di lapangan” mampu membeli mobil mewah keluaran Jerman dan Inggris.
Pekerjaan menjadi broker properti dalam era booming properti seperti sekarang merupakan pekerjaan menjanjikan. Namun, sayang, tidak banyak yang melihat ini sebagai peluang. Padahal, kalau dikembangkan sedemikian rupa, pendapatan mereka bisa jauh di atas gaji bersih seorang direktur utama perusahaan badan usaha milik negara. Syaratnya pun tidak banyak, jaringan yang sangat luas, sangat luwes, memiliki kapasitas pemasaran dan penjualan, memiliki integritas tinggi, mempunyai etika yang terpuji, berbahasa Inggris fasih, dan sebagainya.
Di luar pekerjaan broker, masih banyak jenis pekerjaan yang memberi perolehan amat besar, tetapi belum terlampau populer, yakni pekerjaan di bidang asuransi. Mengapa? Karena pekerjaan ini (dalam bahasa guyonan) dipandang ”menjual angin”. Namun, tak banyak yang tahu, banyak yang kaya raya karena bekerja di perusahaan asuransi. Pekerjaan lain yang kini sangat menjanjikan adalah menjadi ahli teknologi informasi.
Di Singapura, sekadar menyebut contoh, seorang ahli teknologi informasi mampu meraih pendapatan bersih Rp 80 juta sampai Rp 1,5 miliar per bulan. Kita suka terjebak dalam pemikiran bahwa pekerjaan yang mapan itu adalah bekerja di kantor, masuk jam sekian, dan pulang jam sekian. Padahal, di luar kantor ada banyak pekerjaan prestisius.

Kamis, 26 April 2012

Jangan Cuma Menuding Rakyat Boros BBM
ILUSTRASI
ANALISIS — Sudah jatuh tertimpa tangga. Itulah nasib malang rakyat Indonesia. Atas nama buruknya infrastruktur dan transportasi, mereka terpaksa membeli bahkan berutang untuk memiliki kendaraan pribadi. Kini, mereka dipaksa pula membeli bahan bakar minyak dengan harga lebih mahal seiring dengan rencana pembatasan pembelian BBM bersubsidi.
Sungguh, hidup di negeri ini seolah tanpa pilihan. Jika boleh memilih, tentu saja sebagian warga, seperti penduduk Tokyo, Jepang, memilih tidak membeli mobil pribadi. Jauh lebih baik hilir mudik naik kereta bawah tanah dan uang yang dihemat dapat untuk pesiar keliling dunia.
Jika boleh memilih, tentu enggan membeli mobil seharga 20-50 persen lebih tinggi daripada harga mobil di negara tetangga. Membayar asuransi mobil hampir Rp 10 juta tiap tahun. Mondar-mandir ke bengkel hanya untuk mengantre perawatan berjam-jam tiap 5.000 kilometer.
Kenapa rakyat Indonesia tetap getol membeli mobil? Tidak terhindari ada unsur prestise, tetapi sekali lagi, karena terbatasnya pilihan.
Tentu saja tidak ada dosanya membeli mobil pribadi. Terlebih ada industri dan ekonomi yang terus tumbuh dengan naiknya penjualan. Namun, pemerintah seharusnya menganalisis mengapa mobil pribadi bergerak tiap hari, tak sekadar pada akhir pekan seperti di negeri lain.
Tidak ada transportasi yang tepat waktu kala dibutuhkan. Pemerintah juga gagal menyediakan transportasi massal yang nyaman dengan tarif yang rasional. "Dengan demikian, rakyat jangan dituduh memboroskan BBM bersubsidi," ujar Wakil Sekretaris Jenderal Masyarakat Transportasi Indonesia Bambang Harjo.
Berulang kali pemerintah menyodorkan angka lonjakan volume penjualan BBM bersubsidi, seolah-olah kita menghadapi akhir zaman. Namun, di lain sisi, tidak ada penjelasan apalagi upaya memecahkan persoalan mengapa konsumsi melonjak. Tidak diurai mengapa kendaraan pribadi justru menjadi tulang punggung mobilitas di negeri ini.
Akademisi, pengamat, bahkan mantan Menteri Perhubungan Giri Suseno Hadihardjono menyerukan pentingnya membahas sisi permintaan bukan hanya pasokan BBM bersubsidi. Atau ringkasnya, jangan sekadar meributkan harga dan volume BBM subsidi. Akan tetapi, seruan itu bak suara orang yang berteriak-teriak di padang gurun. Hilang, tak berbekas.
Ketika tertimpa tangga, apa yang dapat dilakukan rakyat? Pasti menerima dan menyesuaikan diri. Kita bukan penguasa. Terlebih jika nantinya ditetapkan sanksi bagi mobil pribadi dengan kapasitas mesin 1.500 cc ke atas yang terbukti membeli BBM bersubsidi.
Namun, kita mengingatkan dan mengetuk nurani pemerintah untuk mempertimbangkan pengorbanan rakyat. Mempertimbangkan perjuangan rakyat, yang selama ini mencari solusi sendiri-sendiri dan berjibaku tiap hari di jalan raya menembus kemacetan.
Ketika kita dengan terpaksa menerima BBM dengan harga tinggi, tolong dicarikan dengan tempo sesingkat-singkatnya alternatif transportasi massal. Bukan transportasi massal yang sekadar diada-adakan, melainkan yang andal, murah, dan nyaman sehingga menarik perpindahan dari kendaraan pribadi ke transportasi massal.

Senin, 23 April 2012

Membaca Selera Konsumen
 
ANALISIS - Huang Ishien (57), seorang usahawan di Hongkong, selalu membawa sejumlah buah tangan saat pulang ke Indonesia. Buah tangan itu tidak pernah bergeser dari obat oles Tiger Balm, obat sakit perut, obat batuk Kim To Ninjiom Pei Pa Koa (obat batuk ibu dan anak), serta obat kulit Bao Fu Lin.
Sejumlah produk Hongkong ini sebenarnya tersedia di pelbagai kota di Indonesia. Namun, tetap saja Huang membawa buah tangan itu karena sahabat-sahabatnya menyukainya.
Hal yang lebih kurang sama terjadi di Indonesia. Pulang dari Yogyakarta, yang dibawa umumnya gudeg, bakpia patok, atau masakan dari beberapa restoran tua terkenal. Kembali dari Solo, banyak yang ”nekat” bawa timlo, soto gading, intip, kain batik, dan sebagainya.
Dari Makassar, yang dibawa kepiting dari restoran-restoran tua terkenal, bubur ayam Ang Ping Lao, coto makassar, sop konro, atau minyak gosok cap Tawon.
Dari Balikpapan, yang dibawa selalu kepiting jumbo. Dari Semarang, yang dibawa lumpia (basah dan goreng), soto bangkong, bandeng presto, dan sebagainya.
Menariknya, para pemburu produk atau makanan spesifik ini rela antre saat panas matahari, bersedia menenteng buah tangan itu masuk ke kabin pesawat.
Selintas hal ini sepele, tetapi sebenarnya bisa menjadi contoh bisnis yang mengasyikkan. Produsen produk-produk tersebut jarang beriklan. Malah, hampir tidak pernah beriklan di media cetak.
Para produsen itu mengandalkan metode dari mulut ke mulut. Dari satu cerita ke cerita lainnya. Namun, efektivitasnya dahsyat. Warga dari provinsi dan negara mana saja mau membeli.
Di sejumlah kota dunia banyak produk Indonesia mudah ditemukan di toko serba ada. Di antaranya adalah minyak gosok cap Tawon, aneka jenis biskuit, kacang-kacangan, permen, polo shirt, dan kaus oblong.
Kunci kesuksesan menerobos pasar dunia ini adalah mutu yang terjaga dan kemampuan produsen memuaskan semua pembelinya.
Namun, banyak juga produsen yang usahanya hampir seratus tahun, tetapi akhirnya terempas. Sebagian lagi letih bersaing. Misalnya, membuka warung bakso malang yang rasanya enak dan sangat laris.
Pedagang lain juga ramai-ramai membuka warung bakso malang. Akhirnya, semua lalu mengumumkan bahwa merekalah penemu resep bakso malang, Pembeli lalu bingung mana sebetulnya yang asli.
Atau soto yang mengandalkan label Pak Kumis. Banyak yang mengaku Pak Kumis, tetapi mana soto Pak Kumis yang asli? Mana yang latah? Atau pedagang ayam goreng yang terpecah. Akhirnya reputasinya meredup.
Dalam konteks dunia usaha modern, banyak usahawan sukses karena pandai membaca selera konsumen. Seperti betapa larisnya gerai yang menjual kaus, kemeja, topi, sweater, dan pernak-pernik Hard Rock Café.
Praktis, bintang iklan yang paling efektif ialah konsumen yang puas dengan produk atau pelayanan yang diperoleh. Dan, konsumen yang merekomendasikan produk atau pelayanan ini kepada orang lain. Atau, lihatlah Dave Thomas dari fastfood Wendy’s. Iklannya tanpa bintang-bintang masyhur, tetapi langsung menyentuh hati konsumen. Laris manis.