Kamis, 26 April 2012

Jangan Cuma Menuding Rakyat Boros BBM
ILUSTRASI
ANALISIS — Sudah jatuh tertimpa tangga. Itulah nasib malang rakyat Indonesia. Atas nama buruknya infrastruktur dan transportasi, mereka terpaksa membeli bahkan berutang untuk memiliki kendaraan pribadi. Kini, mereka dipaksa pula membeli bahan bakar minyak dengan harga lebih mahal seiring dengan rencana pembatasan pembelian BBM bersubsidi.
Sungguh, hidup di negeri ini seolah tanpa pilihan. Jika boleh memilih, tentu saja sebagian warga, seperti penduduk Tokyo, Jepang, memilih tidak membeli mobil pribadi. Jauh lebih baik hilir mudik naik kereta bawah tanah dan uang yang dihemat dapat untuk pesiar keliling dunia.
Jika boleh memilih, tentu enggan membeli mobil seharga 20-50 persen lebih tinggi daripada harga mobil di negara tetangga. Membayar asuransi mobil hampir Rp 10 juta tiap tahun. Mondar-mandir ke bengkel hanya untuk mengantre perawatan berjam-jam tiap 5.000 kilometer.
Kenapa rakyat Indonesia tetap getol membeli mobil? Tidak terhindari ada unsur prestise, tetapi sekali lagi, karena terbatasnya pilihan.
Tentu saja tidak ada dosanya membeli mobil pribadi. Terlebih ada industri dan ekonomi yang terus tumbuh dengan naiknya penjualan. Namun, pemerintah seharusnya menganalisis mengapa mobil pribadi bergerak tiap hari, tak sekadar pada akhir pekan seperti di negeri lain.
Tidak ada transportasi yang tepat waktu kala dibutuhkan. Pemerintah juga gagal menyediakan transportasi massal yang nyaman dengan tarif yang rasional. "Dengan demikian, rakyat jangan dituduh memboroskan BBM bersubsidi," ujar Wakil Sekretaris Jenderal Masyarakat Transportasi Indonesia Bambang Harjo.
Berulang kali pemerintah menyodorkan angka lonjakan volume penjualan BBM bersubsidi, seolah-olah kita menghadapi akhir zaman. Namun, di lain sisi, tidak ada penjelasan apalagi upaya memecahkan persoalan mengapa konsumsi melonjak. Tidak diurai mengapa kendaraan pribadi justru menjadi tulang punggung mobilitas di negeri ini.
Akademisi, pengamat, bahkan mantan Menteri Perhubungan Giri Suseno Hadihardjono menyerukan pentingnya membahas sisi permintaan bukan hanya pasokan BBM bersubsidi. Atau ringkasnya, jangan sekadar meributkan harga dan volume BBM subsidi. Akan tetapi, seruan itu bak suara orang yang berteriak-teriak di padang gurun. Hilang, tak berbekas.
Ketika tertimpa tangga, apa yang dapat dilakukan rakyat? Pasti menerima dan menyesuaikan diri. Kita bukan penguasa. Terlebih jika nantinya ditetapkan sanksi bagi mobil pribadi dengan kapasitas mesin 1.500 cc ke atas yang terbukti membeli BBM bersubsidi.
Namun, kita mengingatkan dan mengetuk nurani pemerintah untuk mempertimbangkan pengorbanan rakyat. Mempertimbangkan perjuangan rakyat, yang selama ini mencari solusi sendiri-sendiri dan berjibaku tiap hari di jalan raya menembus kemacetan.
Ketika kita dengan terpaksa menerima BBM dengan harga tinggi, tolong dicarikan dengan tempo sesingkat-singkatnya alternatif transportasi massal. Bukan transportasi massal yang sekadar diada-adakan, melainkan yang andal, murah, dan nyaman sehingga menarik perpindahan dari kendaraan pribadi ke transportasi massal.